Beberapa waktu lalu saya bersama pasangan saya menyambangi salah satu kedai kopi yang sedang hits di bilangan Blok M. Dimulai ketika saya membaca salah satu cerita pendek yang dikemas dalam novel karya Dewi “Dee” Lestari yang berjudul Filosofi Kopi yang kemudian difilmkan dan dibuat kafenya.
Sebenarnya ketika saya membaca novel tersebut pada tahun 2013 di sebuah pelataran rumah teman saya, saya hanyut terbawa ke dalam cerita bagaimana nikmatnya sebuah kopi. Tadinya saya hanya memandang sebelah mata sebuah kopi atau minuman dari kopi, tapi saya akhirnya sadar bahwa kopi bukanlah sekedar minuman, tetapi juga seni. Seni tersebut dimulai ketika memilih benih, memilih dataran untuk ditanami kopi, lalu kopi itu tumbuh dan berbuah yang kemudian dipetik dan dipilah oleh para ahli kopi. Proses yang begitu panjang tidak berakhir di situ saja, masih ada proses penyimpanan, roasting (sangrai atau pemanggangan), grinding (penggilingan) hingga berbagai teknik penyeduhan seperti, aeropress, tubruk, v60, sypho, chemex, mokapot dan lain-lain.
Atas dasar ketertarikan saya perihal kopi dan novel Dee saya mencicipi segelas kopi yang benama Tiwus di café Filosofi Kopi, sebuah kopi yang memiliki makna, “Walau tak ada yang sempurna, hidup ini indah begini adanya”. Untuk mendapatkan rasa yang sebenarnya saya memesan kopi Tiwus dengan metode manual brewing (seduh tubruk), karena menurut saya kopi tubruk adalah kopi yang paling jujur dan apa adanya dari segi rasa.
Saya sendiri adalah penilai kopi amatiran, tapi saya cukup dibuat jatuh cinta dengan rasa yang didapat dari kopi Tiwus ini. Terdapat rasa pahit yang ringan dan sedikit fruity cocok untuk harian dan teman ngobrol ringan, atau mungkin saya sedikit terbawa hype cerita yang yang ada di novel tersebut hahaha. Sebenarnya sih awalnya saya berniat memesan Perfecto terlebih dahulu, tetapi sayang barista tidak mengijinkan Perfecto untuk diseduh tubruk, Perfecto bisa dinikmati hanya jika diproses melalui mesin espresso. Jujur saya masih agak takut minum espresso shot karena takut perut dan jantung saya gak kuat, tapi di sisi lain saya sadar bahwa espresso adalah “sari kopi” yang bisa membuat kita merasakan apakah kopi itu enak atau tidak.
Pasangan saya sendiri hanya memesan green tea karena lambungnya sudah tidak kuat dirusak kopi-kopi instan jaman sekarang, setelah selesai saya mengantarkan pasangan saya ke daerah grogol, tapi begitu sampai disana saya melihat hp saya banyak miscall dari dua orang teman saya yaitu Rai ( salah satu kru Clueyourun) dan Lovie Gustian, ternyata Omlop (biasa anak-anak Clueyourun manggil Lovie) mampir ke Jakarta sekembalinya melihat lahan kopi di tanah kelahiranya Bengkulu.
Saya kembali menghubungi kedua teman saya tersebut dan ternyata Omlop sudah sampai di café Filosofi Kopi dan Rai sudah sampai di daerah Tomang, alhasil saya dan pasangan saya kembali lagi ke kedai tersebut. Saya dan Rai datang bersamaan, di sana sudah ada Omlop dengan 1 cangkir kosong dan 1 cangkir berisi seperti es krim, ternyata dia memesan Double Espresso Perfecto dan Affogato Orgasm, diawali dengan Perfecto dan ditambah Affogato, saya sempat menyoba Affogatonya Omlop, rasanya lumayan pahit dan manis bersamaan cukup menyenangkan, next time jika saya kembali kesini saya akan mencobanya.
Saya sendiri akhirnya memesan kembali kopi, pilihan saya kali ini adalah Lestari diseduh tubruk. Begitupula Rai juga memesan Lestari tubruk, sedangkan pasangan saya memesan cemilan kentang dan air putih. Lestari sendiri agak sedikit pahit dibandingkan Tiwus tetapi lebih fruity.

Menikmati kopi sembari ngobrol bersama teman memang sangat nikmat. Suasana café yang ciamik, rasa kopi yang nikmat, oleh-oleh khas Bengkulu berupa kue dan kopi, dan teman baik adalah perpaduan sempurna malam itu, sayang tak lama café ini tutup dikarenakan sudah larut malam, kamipun pindah ngobrol di salah satu gerai 24 jam hingga jam 2 pagi, dan harus berpisah karena Omlop kembali ke bandara untuk mengejar pesawat ke Kaltim, sedangkan saya, Rai dan pasangan saya harus berangkat kerja pukul 05.30.
-Mambo-